2 Comments

Psywar! Sebuah Urgensi Kurikulum Deradikalisasi dalam Pendidikan Islam

Muhammad Nurul Mubin*

Oleh Muhammad Nurul Mubin*

Masih melekat diingatan kita kejadia-kejadian intoleran yang terjadi disekitar kita lebih umumnya di indonesia. Berbagai fenomena yang tak bisa kita sepelekan seperti kejadian yang baru saja terjadi dipekan ini rentetan kejadian mulai dari bom bunuh diri yang terjadi didepan gereja didaerah makasar dan sebuah tragedi baku tembak yang terjadi di mabes polri dijakarta. Hal ini banyak pakar yang mengidentifikasi bahwa kejadian ini terindikasi berafiliasi dengan organisasi terorisme, walaupun demikian menyelidikan masih berjalan hingga sekarang.

Pelaku bom bunuh diri dan penembakan ini polanya hampir sama dengan kesaksian dari keluarga bahwa pelaku sebelum melakukan kegiatan tersebut sebelumnya mengalami perilaku yang tidak biasa, seperti memarahi orang tua karena membaca Al-Banjaji bahwa menyalahkan itu sebuah kebid’ahan. Hal lain  juga yang dilakukan yakni mengafir-kafirkan orang lain dimendia sosial. Gejala ini memang acapkali terjadi apabila jika seseorang telah terinfluence dengan pahan Takfiri, intoleran atau  radikal dalam islam.

Tindakan radikal merupakan masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia. Kasus ini tidak lepas dari kurangnya perhatian public terhadap pendidikan agama. Ditambah dengan peran pemerintah. Banyak sekali faktor yang membuat gerakan radikalisme ini terus bermunculan di Indonesia. Faktor-faktor tersebut antara lain: faktor internal keberagaman, faktor eksternal sosio-politikultural, faktor psikologis, dendam politikultural, faktor sejarah, faktor pendidikan, faktor pemikiran, faktor ekonomi, faktor sosial, dan faktor politik.

Selain faktor tersebut, masih terdapat faktor lain, yaitu: Pemahaman keagamaan yang literal, sepotong-sepotong, parsial terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Bacaan yang salah terhadap sejarah Islam yang dikombinasikan dengan idealisasi berlebihan terhadap Islam pada masa tertentu dan deprivasi politik, sosial dan ekonomi yang masih bertahan dalam masyarakat. Hal ini semua porposional bial ini menjadi fokus yang serius bagi pendidikan islam. Janagan sampai terjadi seperti kejaadian di afganistan dimana ada pihak yang mempunyai kepentingan sendiri dengan membiayai pembuatan buku besar-besaran didistrinbusikan kesemua sekolah disana dengan muatan ujaran kebencian dan faham radikal, sehingga itu sebuah infestasi dimana jika anak-anak itu besar akan berpotensi besar menjadi seorang terorisme.

Sekalipun pendidikan bukanlah faktor langsung yang dapat menyebabkan munculnya geradikan radikal, akan tetapi dampak yang dihasilkan dari suatu pendidikan yang keliru juga sangat berbahaya. Pendidikan agama khususnya yang harus lebih diperhatikan. Ajaran agama yang mengajarkan toleransi, kesatuan, keramahan, membenci pengrusakan, dan menganjurkan persatuan tidak sering didengungkan. Retorika pendidikan yang disuguhkan kepada umat lebih seing bernada mengejek daripada mengajak, lebih sering memukul daripada merangkul, lebih sering menghardik daripada mendidik. Maka lahirnya generasi umat yang merasa dirinya dan kelompk hayalah yang paling benar sementara yang lain salah maka harus diperangi, adalah akibat dari sistem pendidikan kita yang salah. Sekolah-sekolah agama dipaksa untuk memasukkan kurikulum-kurikulum umum, sementara sekolah umum alergi memasukkan kurikulum agama, dan tidak sedikit orang-orang yang terlibat dalam aksi terorisme justru dari kalangan yang berlatar pendidikan umum, seperti dokter, insinyur, ahli teknik, ahli sains, namun hanya mempelajari agama sedikit tentu dapat dipertanggungjawabkan. Atau dididik oleh kelompok Islam yang keras dan memiliki pemahaman agama yang serabutan. 

Dirutut dari keseluruan masalah kita bisa sintesakan bahwa sangat urgennya sebuah kurikulum yang mengatur dan jelas tentang Deradikalisasi. Walaupun demikian di Indonesia, pemerintah mulai mendorong informalisasi kurikulum melalui “Program Penguatan Pendidikan Karakter” berdasarkan sembilan rencana prioritas pemerintah “Jokowi-JK” untuk Nawacita. Salah satunya adalah revolusi karakter bangsa. Dengan memperluas kekuasaan pemerintah dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme maka dilakukan langkah-langkah pencegahan melalui anti radikalisme (ideological deterrence). Selanjutnya, Mendikbud mencanangkan program “Penguatan Pendidikan Karakter” (PPK), dan Kementerian Agama juga menerbitkan permen yang mengandung nilai-nilai anti radikal. Tetapi demikian masih belum terlaksana dengan maksimal. Solusi lain Deradikalisasi dalam pendidikan dapat dilakukan dengan pendekatan pedagogis melalui perencanaan yang matang dalam kurikulum pada pembelajaran pendidikan agama Islam. Selain itu, deradikalisasi juga dapat dilakukan melalui pendekatan psikologis yang mengandung unsur kejiwaan peserta didik, dan pendekatan sosiologis untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik dan masyarakat bahwa Islam merupakan agama yang damai, rukun, dan tolerani. Lebih kongkritnya perlunya aturan yang ketat mulai dari mengetatan aturan sekolah yang terindikasi paham esklusif, perekrutan guru dengan syarat anti pakam intoleran, dan pembuatan materi PAI yang lebih banyak memuat dalil-dalil tentang moderasi beragama dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, serta perlu ketegasan pemerintah dalam melaksanakannya. Pada akhirnya memang perlunya kesadarn dari individu dan sosial masyarakat yang leih peka untuk lebih cerdas memilih kejian-kajian dalam pemahaman islam yang lebih toleran kaena islam bukanlah momok yang menakutkan tapi islam adalah rahmatal lil ‘alamin yang membawa perdamaian bagi seluruh umat manusia, baik muslim maupun non-muslim. Wallahua’alam.

*Penulis adalah Mahasiswa S2 Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Kalijaga Yogjakarta

Berita Terhangat
No results found.

Berita Lain

No results found.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Fill out this field
Fill out this field
Please enter a valid email address.
You need to agree with the terms to proceed

Sabung Ayam Online Slot Online Live Casino