Oleh: M. Khasan Sumarhadi
Pandemi Covid-19 telah menginfeksi 124 juta orang lebih dan membunuh hampir tiga juta orang di Dunia. Menurut WHO Jumlahnya cenderung akan terus meningkat terutama karena beberapa negara mulai memasuki gelombang kedua infeksi. Di Indonesia sendiri sejak bulan juni 2020, kasus infeksi Covid-19 harian mencapai 700 kasus lebih, Bahkan kasus tertinggi yang tercatat dari Kementrian Kesehatan mencapai 4.000 kasus perhari. Kasus tersebut yang tertinggi di Asean.
Satu tahun berlalu sejak kasus Covid-19 pertama diumumkan di Indonesia, kehadiranya memberi pengaruh besar terhadap pola aktivitas sehari – hari masyarakat Indonesia. Hal tersebut ditunjukan dengan adanya new normal yang berlakukan oleh pemerintah. Kebijakan tersebut membuat seluruh aktivitas masyarakat dari mulai pendidikan sampai hiburan harus dibatasi sampai waktu yang belum ditentukan.
Upaya jarak telah meningkatkan perasaan isolasi sosial dan rasa kesepian bagi banyak orang, ditambah lagi, belum adanya kepastian kapan pandemi ini akan berakhir menjadi penyebab rasa lelah dan jenuh dalam menjalani protokol kesehatan juga pembatasan sosial menjadi penyebab terabaikanya protokol kesehatan.
Ketakutan yang ditimbulkan virus Covid-19 banyak merubah pola kebiasaan sosial masyarakat. Protokol kesehatan dan pembatasan sosial menjadi sebuah syarat wajib untuk bisa melakukan aktivitas dan bersosialisasi di luar ruangan, karena dengan protokol kesehatan dan pembatasan sosial kita dapat melakukan pencegahan terhadap infeksi virus Covid 19.
Namun, seiring berjalanya waktu kita dihadapi dengan banyak sekali kelelahan, mulai dari tindakan pencegahan seperti jaga jarak, cuci tangah dan menggunakan masker atau yang biasa disingkat 3M sampai perubahan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan seperti aktivitas fisik dan makan – makanan sehat.
Kelelahan emosional sendiri yang timbul akibat pandemi Covid-19 dapat memperburuk kesehatan mental, seperti depresi dan kecemasan. Pakar kesehatan di seluruh dunia telah memperingatkan peningkatan layanan kesehatan mental, di Inggris sendiri diperkirakan meningkat 20%. Sebuah studi pada April 2020 yang mengamati tekanan mental lebih dari 2.000 orang Amerika, 28% menunjukan tanda – tanda penyakit mental yang serius dibandingkan dengan 3,4 dalam survei serupa pada tahun 2018. Orang dewasa muda (18-44 tahun) menunjukan perubahan penurunan terbesar dan mereka sepuluh kali lebih mungkin mengakami masalah kesehatan mental.
World Health Organization (WHO) mendeskripsikan rasa lelah itu adalah pandemic fatigue, demotivasi yang dirasakan masyarakat dalam mengikuti rekomendasi protokol kesehatan yang di maksudkan untuk melindungi diri sendiri dan orang lain dari virus.
Pandemc fatigue erat kaitanya dengan bias kognitif. Ini adalah kondisi kesalahan sistematis berfikir yang mempengaruhi pengambilan keputusan dan penilaian yang mendorong tindakan irrasional yang dapat memberikan kesenangan sesaat, meski sangat berisiko.
Bahaya yang ditimbulkan oleh kondisi pandemic fatigue adalah munculnya pemahaman kalau Covid-19 bukanlah penyakit yang berbahaya bahkan menjadi sebuah kecendrungan untuk meremehkan keberadaanya.
Sehingga banyak Infodemik misinformasi tentang Covid-19 yang mengancam respon Covid-19 sejak mulainya pandemi, termasuk klaim palsu bahwa lebih baik tertulah virus (dengan keyakinan bahwa antibodi kemudian akan melindungi dari infeksi lebih lanjut), dan penyakit tersebut tidak seburuk yang diyakini orang atau bahkan apakah virus itu nyata atau tidak.
Semua ini tidak hanya dapat membahayakan orang dengan tidak pakai masker, namun juga dapat menempatkan orang yang lebih rentan di masyakat dalam resiko, serta mendorong penyebaran informasi non ilmiah yang merajalela.
Keadaan seperti ini jelas akan sangat berdampak besar pada kesehatan manusia jika berjalan terus menerus, tak hanya kesehatan manusia yang terkena dampak, hilangnya pendapatan, penutupan seluruh layanan masyarakat dan kurangnya akses ke layanan kesehatan non Covid-19, dan imunisasi rutin juga terdampak imbasnya pandemi ini bahkan bisa menyebabkan ketidakamanan dan ketidak pastian tentang masa depan.
Dikutip dari The Conversation “Berpikir secara berhati – hati ini memberi kita kesempatan mempertimbangkan masalah lebih matang, seperti implikasi jangka panjang.” Sehingga pola pikir dengan memepertimbangkan dengan seksama kelebihan dan kekurangan dari aktivitas yang akan dilakukan.
Selain berfikir dengan matang, kita juga harus mengolah informasi yang masuk dengan komperhensif. Jangan cherry picking information, lalu hindari juga pilah – pilih informasi yang sesuai dengan keinginan kita. hal ini akan sangat bermanfaat dalam pengambilan keputusan ketika sebelum melakukan aktivitas. Lelah dan bosan itu wajar namun jangan sampai lengah.
Dengan kita tetap berfikir jernih, berhati – hati, mempertimbangkan setiap masalah lebih matang, selalu memilah milih informasi seakurat mungkin dan tetap mengindahkan protokol kesehatan juga pembatasan sosial. Kita akan terhindar dari kelelahan akibat pandemi yang berkepanjangan.