Bedah Buku Tatsunami, Teodisi, Trauma Pasca Bencana
KUDUS, ansorkudus.or.ID – Pimpinan Cabang (PC) GP Ansor Kabupaten Kudus menggelar bedah buku yang berjudul Tatsunami, Teodisi, Trauma Pasca Bencana Perspektif Syaikh KH Maimoen Zubair. Kegiatan ini juga menjadi soft launching Harlah GP Ansor ke-88 di Joglo Maqha, Desa Ngembalrejo, Kecamatan Bae, Kudus pada Senin malam (28/3).
Kegiatan ini dihadiri puluhan pengurus Ansor dan Banser Kudus, dan beberapa tamu undangan lain. Meliputi IPNU IPPNU, Fatayat.
Dalam sesi bedah buku menghadirkan tiga narasumber, yaitu Syarifah Fatimatuz Zahra (penulis buku), M. Muhtadhar (akademisi), dan M. Hasan Mafik (santri Mbah Moen).
Dasa Susila, ketua PC GP Ansor Kudus, mengatakan kegiatan ini bertujuan untuk mendalami konteks buku dalam rangka penanganan trauma pasca bencana perspektif KH Maimoen Zubair.
“Harapannya relawan NU dapat mengimplementasikan ilmu-ilmu dalam menangani trauma pasca bencana. Karena ilmu ini belum banyak yang mengetahui penanganan trauma pasca bencana dengan pendekatan teodisi,” kata Dasa.
Pihaknya menambahkan semoga kegiatan ini dapat memberikan manfaat bagi kami, dan nantinya dapat diimplementasikan dalam pergerakan NU dalam aktivitas sosial kebencanaan.
Buku Tatsunami, Teodisi, Trauma Pasca Bencana Perspektif Syaikh KH Maimoen Zubair terinsipirasi dari kitab As-Showi yang merupakan satu satunya kitab asli Indonesia karya Mbah Maimoen Zubair yang khusus membahas tentang bencana.
Syarifah Fatimatuz Zahra mengatakan teodisi merupakan istilah filsafat tentang bagaimana keadilan Tuhan ketika ada bencana.
“Setiap terjadi bencana yang ditanyakan pertama kali, bukan keluarga, atau barang, tetapi orang pasti bertanya mengapa Tuhan membuat seperti ini. Tapi ketika penanganan tidak menyasar ke kajian itu,” kata Syarifah Fatimah.
Bencana bukan berarti Tuhan menghukum manusia. Bencana bisa pengingat, dan menjadi Rahmat yang diberikan Tuhan kepada manusia.
“Trauma setelah bencana itu sangat panjang. Tapi kalau kita menyembuhkan trauma dengan konsep kauniyah, sam’iyah, dan mari’ah, kesembuhan dari trauma akan lebih cepat,” terangnya.
Sementara itu, Hasan Mafik menyampaikan, musibah itu gawan bayi. Tak ada, kata dia, orang hidup tanpa musibah.
Pada persitiwa Tsunami Aceh pada 2004, Mbah Moen mendatangi lokasi bencana. Mbah Moen juga kerap mengingatkan identitas untuk menghalalkan segala cara dan menuruti hawa nafsu. Aceh sendiri memiliki julukan Negeri Serambi Mekah. Ini merupakan ibrah.
“Namun itu identitas yang tak perlu dibanggakan sehingga lupa, demikian konteks Indonesia. Bila kita terus membanggakan identitas untuk hawa nafsu bukan mustahil tsunami kedua akan datang lagi,” katanya.
Dia juga mengutip kitab Syeh Jakfar al Barjanzi jangan sampai dengan musibah kebaikan berkurang. Hasan mengingatkan kedatangan musibah untuk mengingatkan. “Kabeh iku Allah, mulane nikmat,” kata Hasan Mafik, sembari meniru dawuh KH Maimoen.
Muhtador, yang juga narasumber mengkritik pemilihan diksi teodisi (protes). Sebab, musibah dalam perspektif Mbah Moen tidak protes. Tapi diterima musibah atas kehendak Allah.
“Di dalam buku ini juga tidak dijelaskan teodisi di Indonesia. Hanya berisi teori yang ada di Eropa,” tandasnya. (*)
Penulis : Ahmad Syarif
Editor : Abdul Rochim