KUDUS, ansorkudus.or.id – Setiap kali menjelang bulan Ramadan tiba, umat Islam di kabupaten Kudus, Jawa Tengah dan sekitarnya menyambutnya dengan suka cita. Momentum kehadiran bulan Ramadan menjadi sesuatu yang istimewa, sebab terdapat tradisi Dandangan sebagai penanda masuknya bulan Ramadan. Tradisi ini sudah turun temurun atas warisan dari Sayyid Ja’far Sodiq atau yang sering dikenal dengan sebutan Sunan Kudus.
Hal tersebut diungkapkan oleh KH. Najib Hasan ketua Yayasan Menara Kudus ketika menerima rombongan rihlah ilmiah (perjalanan ilmu) kelompok empat Pelatihan Kepemimpinan Dasar (PKL) Ansor Kudus, Ahad (19/3). Rombongan yang terdiri dari peserta asal luar kota seperti Jombang, Wonogiri, Batang, Blora, Pati, Grobogan, Demak dan Semarang ini antusias mendengarkan penjelasan dari Kiai Najib.
Tradisi Dandangan sudah berlangsung ratusan tahun. Dahulu, tradisi ini bermula saat masyarakat mendatangi masjid Menara Kudus untuk mendengarkan pengumuman dari sesepuh masjid mengenai kapan dimulainya hari pertama puasa Ramadan.
Pengumuman diawali dengan permulaan menabuh beduk yang terpasang di Menara Kudus, beduk tersebut terdengar menimbulkan suara “dhang..dhang..dhang”. Bunyi beduk yang memunculkan kata dhandhang itulah sehingga kebiasaan tersebut dikenal dengan tradisi Dandangan.
Zaman terus berkembang, kini tradisi Dandangan tidak hanya sebatas menunggu beduk Menara Kudus ditabuhkan menjelang bulan Ramadan. Namun sudah menjelma menjadi tradisi atau event yang tidak hanya dimiliki oleh masyarakat muslim saja, tetapi masyarakat non-muslim juga menyambutnya dengan suka cita.
Jika dahulunya masyarakat hadir ke Masjid Menara pada akhir Sya’ban menjelang awal Ramadan untuk menantikan pengumuman awal puasa. Kini, tradisi Dandangan menjelma menjadi tradisi yang besar dan meriah.
Kemeriahan yang membawa berkah kepada masyarakat luas. Selama dua pekan menjelang ramadan tahun ini, jalanan di sekitar kompleks masjid Menara dan makan Sunan Kudus hingga alun-alun Kudus, tumpah dibanjiri oleh para pedagang yang menjajakan segala macam barang dagangan, mulai dari makanan, pakaian, mainan anak-anak, aksesori, hingga kebutuhan sehari-hari.
Pedagang tak hanya menjajakan dagangannya kepada para pengunjung yang hendak berziarah ke makam Sunan Kudus, tetapi juga masyarakat yang hanya sebatas ingin menikmati kemegahan bangunan Menara.
Menara masjid pertama di pulau Jawa ini berdiri pada 19 Rajab 956 H atau 24 Agustus 1549 M, dibangun oleh Sunan Kudus begitu megah dan menarik karena bangunannya mirip dengan Pura tempat beribadah orang Hindu. Bukan tanpa maksud Sunan Kudus membangun seperti itu, sebab beliau berdakwah di daerah yang pada saat itu mayoritas masih beragama Hindu.
Ketika itu Sunan Kudus dikenal sebagai wali muda dengan julukan Waliyul Ilmi, Wali Syari’ah. Berkat ajaran toleransi dari beliau beberapa perusahaan di Kudus masih mempertahankan tradisi libur hari Jumat meski yang punya perusahaan bukan muslim.
Kiai Najib kemudian menerangkan bahwa Walisongo berdakwah bil hal (memberi contoh), dibuktikan dengan tidak ditemukannya catatan tentang metode dakwah Walisongo dengan ceramah.
Kiai Najib juga menceritakan tentang Mbah Kamal Hambali dan Raden Asnawi yang makamnya ada di area pemakaman menara Kudus. Strategi dakwah teposliro kepada mayoritas warga Hindu saat itu, masyarakat Kudus disarankan tidak menyembelih sapi dan bangunan kawasan Menara Kudus dibangun dengan arsitektur Majapahit sebagai bentuk teposliro terhadap masyarakat Hindu Majapahit.
Dandangan adalah momentum menunggu pengumuman kapan memulai puasa dari Sunan Kudus sebagai qodi (penguasa wilayah). Kiai Najib berharap dandangan dapat kembali seperti dulu lagi yaitu sebagai peristiwa religius dan kultural, nilai kearifan lokal yang dibangun oleh para Wali.
Kegiatan dandangan masih mempertahankan kearifan lokal baik dari sisi pembiayaan dan gotong royong dalam mempersiapkan kegiatannya. (*)
Penulis : Cak Suhaib
Editor : Gunawan TB Setiyadi